Senin, 07 Oktober 2013

Golput, Bukti Retardasi Politik

pini
Oleh: Muhammad Taufiq Arif (Direktur Sociology Research Community)
Tingginya angka golput sudah menjadi penyakit politik dalam setiap proses demokrasi. Di Kota Makassar sendiri dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar. Angka golput mencapai 40 persen dari keseluruhan daftar pemilih tetap. Atau dengan kata lain DIA dikalahkan oleh Golput.
Golput, adalah akronim dari golongan putih. Istilah ini ditujukan kepada mereka yang tidak menggunakan hak suaranya dalam suatu pemlihan umum. Di Indonesia sendiri, golput telah dikenal sejak pemilihan umum pertama yang diadakan pada tanggal 3 Juni 1971. Bahkan Golongan putih pada masa itu merupakan gerakan yang terorganisir. Gerakan ini adalah buah dari hasil pemikiran bahwa dengan atau tidak diadakannya pemilu, tidak akan memberikan impresi yang berarti bagi bangsa. Karena pada saat itu (peralihan orde lama ke orde baru), militer yang memegang pengaruh besar akan nasib negara.
Masyarakat Makassar baru saja menggelar pesta demokrasi Pemilihan Walikota dan wakil walikota pada 18 September 2013 lalu. Dari hasil rekapitulasi suara oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kota Makassar, Pasangan Danny Pomanto dan Syamsu Rizal MI (DIA) keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 182.484 suara atau 31,18 Persen, Suara pasangan DIA mengungguli ke sembilan pasangan kandidat lainnya. Dengan begitu, Pilwali Makassar berlangsung dengan satu putaran saja.
Namun dari hasil rekapitulasi itu, persentase partisipasi pemilih menunjukkan angka 60 persen. Dari 983.990 jiwa yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hanya 592.299 orang atau 60.20 persen yang menggunakan hak pilihnya. Sisanya sebanyak 391.691 orang atau 39.80 persen memilih tidak menggunakan hak suaranya. Dengan kata lain pemenang pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar adalah golput.
Persentase ini ternyata tidak jauh beda dengan partisipasi pemilih dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar Tahun 2008 silam. Pada pelaksanaan pemilihan tersebut, pasangan IASmo (Ilham Arief Sirajuddin-Supomo Guntur) menjadi kandidat yang meraih suara terbanyak. Dari 959.814 jiwa yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hanya 550.869 jiwa atau 58,48 persen yang menggunakan hak pilihnya. Sisanya 408.945 jiwa atau 41,52 persen memilih tidak menggunakan hak suaranya.
Retardasi Politik
Selisih angka golput antara pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar Tahun 2013 dan Tahun 2008 hanya sekitar 1 Persen saja. Artinya ada peningkatan kecil partisipasi politik masyarakat Kota Makassar sepanjang lima tahun atau satu keperiodean walikota. Fenomena ini menunjukkan adanya retardasi partisipasi politik atau lambannya perkembangan partisipasi politik. Retardasi sebenarnya istilah medis yang menggambarkan lambannya penyembuhan penyakit. Maka sangat tepat apa bila dianalogikan golput merupakan suatu penyakit politik yang yang mengalami retardasi. Seharusnya, pesta demokrasi sebelumnya bisa menjadi bahan evaluasi atau pembelajaran bagi penyelanggara untuk menekan angka golput.
Partisipasi politik masyarakat Indonesia khususnya pada pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar masih memprihatinkan. Pemilihan kepala daerah yang notabene menentukan nasib daerah, masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Sebahagian masyarakat lebih memilih menikmati masa libur lokal yang diberlakukan untuk pelaksanaan pilkada ketimbang untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya.
Tidak memilih adalah suatu pilihan
Kalimat ini merupakan salah satu alibi yang biasa dilontarkan oleh pemilih golput. Sikap tidak memilih dianggap sebagai suatu pilihan. Suatu pilihan sewajarnya memiliki alasan tertentu, bahkan memilih untuk tidak memilih sekalipun.
Menariknya lagi, angka golput jauh cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Padahal masyarakat perkotaan memiliki akses politik yang lebih besar dari pada pedesaan. Fenomena ini dikarenakan masyarakat perkotaan lebih realistis dari pada masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan memandang pesta demokrasi ini hanya sekedar pertarungan kusir antara beberapa kepentingan.
Beberapa pemilih golput beranggapan bahwa pertarungan ini bukanlah kepentingan untuk memajukan daerah, tetapi kepentingan oleh golongan tertentu. Jadi, siapapun yang menjadi pemenang proses demokrasi ini, bukanlah menjadi kemenangan rakyat seutuhnya. Melainkan kemenangan golongan tertentu. Sehingga golongan yang kalah dalam pertarungan ini akan membawa stigma selama satu periode jabatan rival politiknya. Selain itu, tingkat kesibukan masyarakat perkotaan yang sangat padat. Menjadi Alasan mengapa masyarakat bersikap apatis atau tidak peduli terhadap momentum ini.
Namun, menurunnya angka golput pada pemilihan kepala daerah kali ini patut diberi apresiasi. Komisi Pemilihan Umum sebagai pihak penyelenggara sudah bekerja keras untuk menekan jumlah golput. Walaupun, pada realitasnya tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. Dan tentunya ini bisa dijadikan pelajaran oleh semua pihak demi terciptanya situasi demoktasi yang diinginkan. Karena berhasil atau tidaknya proses demokrasi ini tergantung pada besaran indeks partisipasi politik masyarakat.(*)
Sumber : warta timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara berkomentar,
Jika Punya akun google atau akun yang tersedia, pilih salah satunya untuk login
tapi klo tidak mau repot, atau tidak punya pilih opsi name/Url. trus isi nama dan jika perlu URL kosong juga tidak apa-apa. trus masukkan komentar dan klik poskan komentar. sudah...... terima kasih atas komentar anda