Sabtu, 29 Desember 2012

AKU lah DIA

AKU lah DIA
andai AKU adalah DIA
aku tidak akan memilih AKU
aku tidak akan mencintai AKU
karena aku tidak pantas dengan AKU

AKU lah DIA
Andai AKU adalah DIA
aku akan bertanya pada diriku
 mengapa aku memilih AKU?
walau aku memiliki apa yang AKU butuhkan
tapi AKU tidak memiliki apa yang aku butuhkan

AKU lah DIA
AKU sadar tidak akan bisa seperti DIA
AKU mencintai DIA karena aku butuh DIA
DIA mencintai ku karena dia juga butuh AKU?
Apa yang DIA butuh dari AKU?
tidak ada, kecuali cinta AKU
AKU cinta DIA cinta AKU
itulah kebutuhan DIA dan Aku
maka, AKU lah DIA
Makassar, 29 Des 2012

Rabu, 26 Desember 2012

Sibukit dan Siguntang

Pelayaran adalah kisah. Kisah yang membuat ingatan terungkit. meski memori dulu yang lama tersimpan. tak usang walau waktu terus menombak. pelayaran ini membangkitkan selera. selera yang labil untuk tahu. Sudah tiga kali dalam hidup dalam pelayaran. Membelah laut dengan besi. masih teringat bagaimana cara dermaga menyambut kami. masih segar cerita bagaimana kesunyian tercipta dalam kepungan ombak. Apalagi senyum penumpang yang menjumpa daratan.

Fase lah yang membuat cerita. Dulu ada cerita dan sekarang kami bercerita. dulu seperti ini dan sekarang menjadi berbeda. terlalu banyak kosa kata ternyata. Dan jawaban yang telah rindu akan pertanyaan tak pernah kutanya dan mereka selalu menjawab. Dan baaru kutahu, kapal itu seperti pulau besi yang meninggalkan tempatnya. Pulau yang dimiliki negara. Lagi-lagi negara. Untuk apa berbicara negara. berbicara negara sama dengan berbicara kotor. mari kita berbincang dijamban kalou berbicara negara. setelah bersih kita tak usah lagi berbicara negara di jamban. biar mahasiswa yang berbicara. aku suka mahasiswa. apalagi mahasiswi. semua itu bagai sayap capung. mendesing tapi sunyi. dan sekarang. aku sadar negara pun membuatku sangsi. entah apa dalam saraf ini. banyak kata yang lewat bagai tulisan ini.

sungguh pandai si bukit dan si guntang dengan nyanyian ombaknya dia berdongeng. dongengnya tak tahu klimaks. dan sungguh bodoh diriku. dengan ringannya mau saja mendengar dongengannya. setidaknya dia tidak bercerita dengan negara. dia bercerita akan mahalnya pangan di tengah laut. tentang penumpang yang tidur di koridor. tentang bau amis di sisi kapal. tentang galaknya anak buah kapal. sungguh seru ceritanya kali ini. untung saya dia tidak bercerita bagai lagu Iwan Fals. Tampomas bukan si bukit dan siguntang. mungkin dia bercerita lebih bersemangat. tapi tak ada yang mau mendengarkan. si bukit dan siguntang terdiam setiap aku bertanya dengan rekannya itu. lebih baik kuakhiri. dan kembali masuk dalam dongngnya.

Bendera berkibar di ujung tiang dan utara bersamaku


Disudut Hujan

Panas menjadi alasan
Bayang pun hidup menerpa ombak
bukan cerita yang membawa kami kesini
apalagi nafsu dalam bercerita
dengan sebatang rokok kami membentuk awan
hanya cerita yang tidak tersimak
di kaki ombak kami bernyanyi
buih bak tentara dan terus menggempur pasir

tak cukup kertas dalam menulis
ada tinta yang menjadi sia
selayang nak gambar tuan
terserah pada-Nya apapun  hilang