Oleh : Muhammad Taufiq Arif (Direktur Sociology Research Community , SOCIETY)
Pasca pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar, konstalasi politik memasuki babak baru berupa perang dingin antarkandidat yang bertarung. Hasil quick count yang memenangkan pasangan Danny Pomanto-Syamsu Rizal (DIA), menimbulkan suhu politik semakin meningkat karena munculnya wacana satu putaran. Realitas politik menimbulkan kegerahan pasangan Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah (NOAH) yang berdasarkan hasil quick count versinya lembaga survey internalnya mengklaim Pilwali Makassar dua putaran.
Belum adanya pengumuman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar yang melansir hasil Pilwali Makassar 2013, euforia kemenangan pasangan DIA sudah bergulir menyikapi hasil beberapa Lembaga survey bernada sama dalam mengumumkan hasil quick count beberapa jam setelah Tempat Pemilihan Suara (TPS) ditutup. Sebut saja-misalnya, lembaga survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) dalam rilisnya memenangkan pasangan DIA 30,98 persen suara, disusul Pasangan Irman Yasin Limpo-Busrah Abdullah (NOAH) dengan hasil 20,89 persen suara. Disusul pasangan Tamsil Linrung-Das’ad latif (Nassami) dengan 16,39 persen suara. Serta pasangan Supomo Guntur-Kadir Halid (SuKa) 13,46 persen. Sehingga, tidak mengherankan pasangan DIA mewacanakan satu putaran saja.
Fakta ini didukung lembaga lainnya yang memperkuat hasil quick count SMRC, sebut saja-CRC, LSI dan IDEC bernada sama. Hal inilah yang mendasari simpatisan kandidat yang menang “versi” quick count, lebih awal merayakan kemenangan dengan keyakinan hasil real count-nya dari KPUD tidak akan jauh berbeda mengingatmargin error-nya hanya 1 persen. Namun, realitas politik ini menjadi perdebatan, hasil hitung cepat ini bukanlah acuan dalam menentukan siapa kandidat yang meraih suara terbanyak. Mengingat hitung cepat hanya mengambil beberapa sampel TPS di setiap kecamatan.
Hasil quick count tidak bisa pula di pandang sebelah mata karena mengunakan metode ilmiah. Disamping itu, citranya dalam mengumumkan hasil Pilkada selama ini, hasil perbedaannya tidak terlampau jauh dengan hasil resmi KPU. Sehingga, quick count seolah-olah menjadi bisikan Tuhan yang menggambarkan hasil pertarungan politik sebenarnya.
Perang Dingin
Fenomena ini bisa saja menimbulkan kemelut diantara kandidat dan tim suksesnya. Satu mengklaim memenangkan Pilwali dengan satu putaran, dan dilain pihak mengatakan bahwa masih akan ada putaran kedua. Hal inilah yang dapat menimbulkan benturan yang berakibat pada konflik laten (tersembunyi) dalam perpolitikan. Dengan kata lain, telah terjadi “perang dingin” diantara kandidat. Bahkan, realitas politik yang paling menyesatkan timbulnya tudingan diantara kandidat terhadap kandidat tertentu yang melakukan kecurangan (politik Jekkong) untuk memenangkan pertarungan.
Munculnya isu praktek kecurangan yang dinyanyikan oleh pasangan kandidat yang kalah, “versi’ quick count, hal ini bila tidak diantisipasi dengan baik, konflik yang awalnya tersembunyi, bukan tidak mungkin akan menjadi konflik terbuka yang berakibat caos. Konflik yang awalnya tersembunyi akan muncul dipermukaan menjadi konflik yang sebenarnya (terbuka). Kita bisa bercermin dari peristiwa pemilihan Walikota Palopo, gesekan antarpendukung sangat berpotensi terjadi. Hal ini karena tidak ada atau kurangnya kontrol dari penyelenggara maupun peserta pemilihan umum dan pihak keamanan. Apalagi hal ini bisa diperparah oleh fanatisme tim sukses yang berlebihan.
Fanatisme tim sukses
Stakeholder tim sukses kandidat merupakan sekelompok orang yang berkerja secara tim guna memenangkan kadidatnya memiliki fanatisme terhadap kandidat yang mereka dukung. Fanatisme inilah yang membuat tim sukses rela melakukan apa saja demi memenangkan kandidatnya. Mulai dari hal yang kecil sampai pada hal yang ekstrem. Entah fanatisme itu didapatkan dari idealisme sendiri, ikatan primordial yang kuat atau dikarenakan ‘bayaran’ yang kuat. Yang jelas fanatisme ini kadang berlebihan dan bergerak abnormal secara radikal tanpa etika politik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi pada proses demokrasi.
Oleh karena itu, sudah selayaknya para kandidat dapat menahan massanya masing-masing dengan saling menghindari sentimental fanatisme. Bersikap mawas diri sambil menunggu hasil resmi (real count) dari penyelenggara Pemilu merupakan etika politik yang harus dipegang teguh oleh semua kandidat. Dan, apabila menemukan kecurangan dalam pelaksanaan, hendaknya mengumpulkan data dan bukti lebih dahulu kemudian menyerahkan kepada Panwaslu, bukan melakukan politik propaganda kepada pendukungnya.
Mewujudkan pemilihan umum yang aman bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. Kita bisa belajar dari Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 yang dapat dijadikan contoh dalam demokrasi yang aman. Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo dan Basuki sebagai Gubernur dan wakil Gubernur mengalahkan incumbent Fauzi Bowo. Walaupun masih terdapat kecacatan dalam pelaksanaannya, namun Pilkada ini berlangsung aman tanpa adanya kekisruhan yang berarti. Realitas politik ini menggambarkan pada kita, bahwa pesta demokrasi merupakan kewajiban kita bersama-sama untuk menjaga stabilitas keamananan sebagai rekonsiliasi politik pasca Pilwali. (*)
Sumber : warta timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Cara berkomentar,
Jika Punya akun google atau akun yang tersedia, pilih salah satunya untuk login
tapi klo tidak mau repot, atau tidak punya pilih opsi name/Url. trus isi nama dan jika perlu URL kosong juga tidak apa-apa. trus masukkan komentar dan klik poskan komentar. sudah...... terima kasih atas komentar anda