Oleh: Muhammad Taufiq Arif (Direktur Sociology Research Community)
Tingginya angka golput sudah menjadi
penyakit politik dalam setiap proses demokrasi. Di Kota Makassar sendiri
dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar. Angka golput
mencapai 40 persen dari keseluruhan daftar pemilih tetap. Atau dengan
kata lain DIA dikalahkan oleh Golput.
Golput, adalah akronim dari golongan
putih. Istilah ini ditujukan kepada mereka yang tidak menggunakan hak
suaranya dalam suatu pemlihan umum. Di Indonesia sendiri, golput telah
dikenal sejak pemilihan umum pertama yang diadakan pada tanggal 3 Juni
1971. Bahkan Golongan putih pada masa itu merupakan gerakan yang
terorganisir. Gerakan ini adalah buah dari hasil pemikiran bahwa dengan
atau tidak diadakannya pemilu, tidak akan memberikan impresi yang
berarti bagi bangsa. Karena pada saat itu (peralihan orde lama ke orde
baru), militer yang memegang pengaruh besar akan nasib negara.
Masyarakat Makassar baru saja menggelar
pesta demokrasi Pemilihan Walikota dan wakil walikota pada 18 September
2013 lalu. Dari hasil rekapitulasi suara oleh KPU (Komisi Pemilihan
Umum) Kota Makassar, Pasangan Danny Pomanto dan Syamsu Rizal MI (DIA)
keluar sebagai peraih suara terbanyak dengan 182.484 suara atau 31,18
Persen, Suara pasangan DIA mengungguli ke sembilan pasangan kandidat
lainnya. Dengan begitu, Pilwali Makassar berlangsung dengan satu putaran
saja.
Namun dari hasil rekapitulasi itu,
persentase partisipasi pemilih menunjukkan angka 60 persen. Dari 983.990
jiwa yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), hanya 592.299
orang atau 60.20 persen yang menggunakan hak pilihnya. Sisanya sebanyak
391.691 orang atau 39.80 persen memilih tidak menggunakan hak suaranya.
Dengan kata lain pemenang pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar
adalah golput.
Persentase ini ternyata tidak jauh beda
dengan partisipasi pemilih dalam pemilihan walikota dan wakil walikota
Makassar Tahun 2008 silam. Pada pelaksanaan pemilihan tersebut, pasangan
IASmo (Ilham Arief Sirajuddin-Supomo Guntur) menjadi kandidat yang
meraih suara terbanyak. Dari 959.814 jiwa yang terdaftar dalam Daftar
Pemilih Tetap (DPT), hanya 550.869 jiwa atau 58,48 persen yang
menggunakan hak pilihnya. Sisanya 408.945 jiwa atau 41,52 persen memilih
tidak menggunakan hak suaranya.
Retardasi Politik
Selisih angka golput antara pemilihan
walikota dan wakil walikota Makassar Tahun 2013 dan Tahun 2008 hanya
sekitar 1 Persen saja. Artinya ada peningkatan kecil partisipasi politik
masyarakat Kota Makassar sepanjang lima tahun atau satu keperiodean
walikota. Fenomena ini menunjukkan adanya retardasi partisipasi politik
atau lambannya perkembangan partisipasi politik. Retardasi sebenarnya
istilah medis yang menggambarkan lambannya penyembuhan penyakit. Maka
sangat tepat apa bila dianalogikan golput merupakan suatu penyakit
politik yang yang mengalami retardasi. Seharusnya, pesta demokrasi
sebelumnya bisa menjadi bahan evaluasi atau pembelajaran bagi
penyelanggara untuk menekan angka golput.
Partisipasi politik masyarakat Indonesia
khususnya pada pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar masih
memprihatinkan. Pemilihan kepala daerah yang notabene menentukan nasib
daerah, masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Sebahagian
masyarakat lebih memilih menikmati masa libur lokal yang diberlakukan
untuk pelaksanaan pilkada ketimbang untuk datang ke Tempat Pemungutan
Suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya.
Tidak memilih adalah suatu pilihan
Kalimat ini merupakan salah satu alibi
yang biasa dilontarkan oleh pemilih golput. Sikap tidak memilih dianggap
sebagai suatu pilihan. Suatu pilihan sewajarnya memiliki alasan
tertentu, bahkan memilih untuk tidak memilih sekalipun.
Menariknya lagi, angka golput jauh
cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan.
Padahal masyarakat perkotaan memiliki akses politik yang lebih besar
dari pada pedesaan. Fenomena ini dikarenakan masyarakat perkotaan lebih
realistis dari pada masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan memandang
pesta demokrasi ini hanya sekedar pertarungan kusir antara beberapa
kepentingan.
Beberapa pemilih golput beranggapan
bahwa pertarungan ini bukanlah kepentingan untuk memajukan daerah,
tetapi kepentingan oleh golongan tertentu. Jadi, siapapun yang menjadi
pemenang proses demokrasi ini, bukanlah menjadi kemenangan rakyat
seutuhnya. Melainkan kemenangan golongan tertentu. Sehingga golongan
yang kalah dalam pertarungan ini akan membawa stigma selama satu periode
jabatan rival politiknya. Selain itu, tingkat kesibukan masyarakat
perkotaan yang sangat padat. Menjadi Alasan mengapa masyarakat bersikap
apatis atau tidak peduli terhadap momentum ini.
Namun, menurunnya angka golput pada
pemilihan kepala daerah kali ini patut diberi apresiasi. Komisi
Pemilihan Umum sebagai pihak penyelenggara sudah bekerja keras untuk
menekan jumlah golput. Walaupun, pada realitasnya tidak sesuai dengan
ekspektasi yang diharapkan. Dan tentunya ini bisa dijadikan pelajaran
oleh semua pihak demi terciptanya situasi demoktasi yang diinginkan.
Karena berhasil atau tidaknya proses demokrasi ini tergantung pada
besaran indeks partisipasi politik masyarakat.(*)
Sumber : warta timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Cara berkomentar,
Jika Punya akun google atau akun yang tersedia, pilih salah satunya untuk login
tapi klo tidak mau repot, atau tidak punya pilih opsi name/Url. trus isi nama dan jika perlu URL kosong juga tidak apa-apa. trus masukkan komentar dan klik poskan komentar. sudah...... terima kasih atas komentar anda